Seberkas Cahaya Dari Sekeping Koin
Hei kawan, masih ingatkah engkau tiga tahun yang lalu. Disaat semua sahabatku sudah terlelap dalam mimpinya, aku masih disini, tempat yang sama untuk memikirkan tentangmu. Masih ingatkah disaat tidurku mulai terlelap, engkau terus datang mengusikku dengan suara merdumu. Seakan dengan sekejap mambangunkanku, hingga mimpi indahku harus terhenti.
Yah, kamu jahat kawan. terlalu egois dirimu hingga engkau hampir menguras seluruh waktu, pikiran, dan keringatku. Tak ada yang bisa kulakukan karena bayangmu terus mengusikku. Hingga ku tak sadar waktu begitu cepat berlalu.
Ingatkah sore itu, disaat aku sudah mulai merasa lelah, kusandarkan tubuhku di tembok yang mulai keropos, kakiku kubiarkan kaku terjuntai ke depan, dan tanganku tetap pada posisi yang sama, membelaimu dengan lembut. Lagi-lagi ku tersentak, terbangun karena engkau hadir memanggilku.
Saat itu, ku ingin rasanya berteriak, namun kuurungkan niatku karena ku yakin, kelak jika engkau dewasa, ada banyak harapan yang melekat pada dirimu.
Ingatkah saat ditengah malam gelap gulita, tak ada yang menemani, hanya engkau dan aku dalam kamar itu. Engkau seakan tertidur lelap dalam buaianku hinggaku tak terasa pagi kembali menyapa dari lubang jendela itu. Yah, engkau memang jahat kawan karena hampir separuh dari perjalananku engkau sita untukmu.
Masih ingatkah dikalah itu, dari sekeping koin yang terpintal di bawah meja ku mulai merajut rupamu, ku poles lembut dengan sedikit sentuhan imajinasi warna yang memikat. Hingga kini engkau tampak gagah dan berani dengan balutan jubah merah yang melekat disekujur tubuhmu.
Di dadamu kueratkan sebuah perisai harapan, di punggungmu ku lekatkan identitas, di kepalamu kutenggerkan nama dan filosofi asal, dan dikakimu kuhiasai dengan sebuah untaian kejujuran. Wah, sungguh aku jatuh hati kepadamu kawan, kini engkau tampak indah seakan sempurna tak ada celah untuk tidak memujimu.
Hari ini engaku datang kembali, mengusikku dengan nyanyian rindu. Aku terpesona dan kembali larut dalam bualan manismu. Rupamu yang menawan penuh dengan pesona masih tak mampu menghipnotis mereka yang engkau jumpai, untaian kata-kata pujangga yang mengisyarakatkan keikhlasan, manfaat, dan pengharapan bagi kaum miskin, seakan berlalu begitu saja. Tak ada yang peduli denganmu, apalagi tertarik mengajakmu berdansa. Bukan karena parasmu yang tidak menarik hanya saja mereka belum paham dan yakin akan identitas dirimu. Masih ingatkah ketika kemarin kita bercanda disebuah taman. Hampir tak ada yang melirikmu, bertanya tentang dirimu, apatahlagi percaya kepadamu. Tapi percayalah niat baik dan takdir akan membuatmu menarik.
Tak perlu resah, biarkanlah besok dan lusa yang menjawabnya !
Kali ini kubiarkan dirimu sendiri, biarkan pesonamu tertular dengan sendirinya, karena kuyakin jubah merahmu akan menarik perhatiannya, merasuk kedalam akal sehatnya, mengetuk pintu hatinya, memupuk kepeduliannya hingga ku yakin mereka tak mampu menolakmu dengan cara yang halus.
Kali ini aku yang akan meninggalkanmu, carilah jatidirmu, kelak aku akan kembali menyapamu jika waktunya sudah tiba. Jangan menangis, aku tak pernah mengajarimu bersedih ! Jangan takut, mereka yang bersamamu saat ini kuanggap pribadi pilihan yang mungkin saja bisa membuatmu lebih baik lagi. Percayalah, bahwa aku akan tetapi ada disini menemanimu meskipun dalam senyap.
Itu saja !
Yah, kamu jahat kawan. terlalu egois dirimu hingga engkau hampir menguras seluruh waktu, pikiran, dan keringatku. Tak ada yang bisa kulakukan karena bayangmu terus mengusikku. Hingga ku tak sadar waktu begitu cepat berlalu.
Ingatkah sore itu, disaat aku sudah mulai merasa lelah, kusandarkan tubuhku di tembok yang mulai keropos, kakiku kubiarkan kaku terjuntai ke depan, dan tanganku tetap pada posisi yang sama, membelaimu dengan lembut. Lagi-lagi ku tersentak, terbangun karena engkau hadir memanggilku.
Saat itu, ku ingin rasanya berteriak, namun kuurungkan niatku karena ku yakin, kelak jika engkau dewasa, ada banyak harapan yang melekat pada dirimu.
Ingatkah saat ditengah malam gelap gulita, tak ada yang menemani, hanya engkau dan aku dalam kamar itu. Engkau seakan tertidur lelap dalam buaianku hinggaku tak terasa pagi kembali menyapa dari lubang jendela itu. Yah, engkau memang jahat kawan karena hampir separuh dari perjalananku engkau sita untukmu.
Masih ingatkah dikalah itu, dari sekeping koin yang terpintal di bawah meja ku mulai merajut rupamu, ku poles lembut dengan sedikit sentuhan imajinasi warna yang memikat. Hingga kini engkau tampak gagah dan berani dengan balutan jubah merah yang melekat disekujur tubuhmu.
Di dadamu kueratkan sebuah perisai harapan, di punggungmu ku lekatkan identitas, di kepalamu kutenggerkan nama dan filosofi asal, dan dikakimu kuhiasai dengan sebuah untaian kejujuran. Wah, sungguh aku jatuh hati kepadamu kawan, kini engkau tampak indah seakan sempurna tak ada celah untuk tidak memujimu.
Hari ini engaku datang kembali, mengusikku dengan nyanyian rindu. Aku terpesona dan kembali larut dalam bualan manismu. Rupamu yang menawan penuh dengan pesona masih tak mampu menghipnotis mereka yang engkau jumpai, untaian kata-kata pujangga yang mengisyarakatkan keikhlasan, manfaat, dan pengharapan bagi kaum miskin, seakan berlalu begitu saja. Tak ada yang peduli denganmu, apalagi tertarik mengajakmu berdansa. Bukan karena parasmu yang tidak menarik hanya saja mereka belum paham dan yakin akan identitas dirimu. Masih ingatkah ketika kemarin kita bercanda disebuah taman. Hampir tak ada yang melirikmu, bertanya tentang dirimu, apatahlagi percaya kepadamu. Tapi percayalah niat baik dan takdir akan membuatmu menarik.
Tak perlu resah, biarkanlah besok dan lusa yang menjawabnya !
Kali ini kubiarkan dirimu sendiri, biarkan pesonamu tertular dengan sendirinya, karena kuyakin jubah merahmu akan menarik perhatiannya, merasuk kedalam akal sehatnya, mengetuk pintu hatinya, memupuk kepeduliannya hingga ku yakin mereka tak mampu menolakmu dengan cara yang halus.
Kali ini aku yang akan meninggalkanmu, carilah jatidirmu, kelak aku akan kembali menyapamu jika waktunya sudah tiba. Jangan menangis, aku tak pernah mengajarimu bersedih ! Jangan takut, mereka yang bersamamu saat ini kuanggap pribadi pilihan yang mungkin saja bisa membuatmu lebih baik lagi. Percayalah, bahwa aku akan tetapi ada disini menemanimu meskipun dalam senyap.
Itu saja !
0 Response to "Seberkas Cahaya Dari Sekeping Koin"
Posting Komentar