Cerita Pilu Seorang Ibu
Sore ini kami kedatangan tamu, seorang ibu yang sengaja datang dari daerah khusus untuk menemui kami dan menawarkan kerjasama untuk jadi pemasok di kedai. Wah, sungguh luarbiasa dan diluar dugaan. Ibu ini bersama dengan anak perempuannya, berangkat ke Makassar dengan mengendarai sebuah motor. Katanya mereka melihat di sosmed tentang Kedai Madu Sulawesi.
Kami mempersilahkannya untuk duduk di kursi pas di depan meja kedai, dan ku persilahkan untuk bercerita tentang maksud yang tadi sempat disebut dari balik pintu. Dengan nada semangat dia pun menceritakan tentang potensi alam di kampungnya terutama potensi madu.
Masih banyaknya ketersediaan hutan sehingga potensi untuk mendapatkan madu sangat besar. Namun yang dia keluhkan karena pasar yang tak jelas. Terkadang madu yang sudah diambil harus tersimpan lama untuk menunggu pembeli datang. Bahkan yang lebih memilukan lagi karena terkadang harganya tidak sesuai dengan keringat yang dikeluarkan saat memanennya. Padahal inilah satu satunya tumpuan hidupnya, tak ada yang lain selain memanfaatkan alam bebas, menelusuri hutan belantara bersama suami dan anaknya, bertaruh nyawa menggantung diatas tingginya pohon yang menjulang ke langit hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Kami pun merasa sedih mendengar ceritanya, ingin rasanya seketika membantunya namun kami tak bisa melakukan itu karena keterbatasan yang kami miliki. Terkhusus adalah modal yang kami pakai saat ini masih terbatas sehingga sulit untuk bisa mengambil stok dalam jumlah yang besar.
Selain itu, kami pun menjelaskan beberapa prosedur yang harus dilalui sebelum bisa menjadi pemasok di Kedai Madu Sulawesi. Hal yang pertama yakni mencicipi rasanya, mengetes kandungan airnya, dan mengetes keasliannya melalui beberapa tahap. Setelah itu, kami akan berkunjung langsung ke daerahnya untuk melihat secara langsung potensi yang ada disana sekaligus memastikan bahwa madu yang dimiliki bukan dari pemasok atau pengepul. Tetapi dari orang yang dapat di percaya.
Setelah obrolan kami selesai, saling bertukar nomor handpone menjadi momen penutup pertemuan kami. Terpancar harapan yang begitu besar dari raut wajahnya, sambil tersenyum lega dia pun meninggalkan kami.
Ceritanya tidak selesai sampai disini, rasa sedih tetap saja melekat. Merasa kasihan karena disaat seorang ibu datang meminta bantuan, kami tak dapat memberi kepastian karena keterbatasan yang saat ini pun kami rasakan. Pikiran ini terus menghantui, hingga ku putuskan untuk mengambil sebuah pulpen dan ku mencoba membuat sebuah konsep pemasaran yang akan melibatkan pemerintah daerah. Saya percaya bahwa ini adalah potensi daerah yang harus dimanfaatkan secara bijak agar bisa berdampak pada masyarakat sekitar. Karena itu, sentuhan tangan pemerintah daerah perlu untuk membuat semuanya berjalan dan bisa bermanfaat secara meluas.
Itu saja !
Kami mempersilahkannya untuk duduk di kursi pas di depan meja kedai, dan ku persilahkan untuk bercerita tentang maksud yang tadi sempat disebut dari balik pintu. Dengan nada semangat dia pun menceritakan tentang potensi alam di kampungnya terutama potensi madu.
Masih banyaknya ketersediaan hutan sehingga potensi untuk mendapatkan madu sangat besar. Namun yang dia keluhkan karena pasar yang tak jelas. Terkadang madu yang sudah diambil harus tersimpan lama untuk menunggu pembeli datang. Bahkan yang lebih memilukan lagi karena terkadang harganya tidak sesuai dengan keringat yang dikeluarkan saat memanennya. Padahal inilah satu satunya tumpuan hidupnya, tak ada yang lain selain memanfaatkan alam bebas, menelusuri hutan belantara bersama suami dan anaknya, bertaruh nyawa menggantung diatas tingginya pohon yang menjulang ke langit hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Kami pun merasa sedih mendengar ceritanya, ingin rasanya seketika membantunya namun kami tak bisa melakukan itu karena keterbatasan yang kami miliki. Terkhusus adalah modal yang kami pakai saat ini masih terbatas sehingga sulit untuk bisa mengambil stok dalam jumlah yang besar.
Selain itu, kami pun menjelaskan beberapa prosedur yang harus dilalui sebelum bisa menjadi pemasok di Kedai Madu Sulawesi. Hal yang pertama yakni mencicipi rasanya, mengetes kandungan airnya, dan mengetes keasliannya melalui beberapa tahap. Setelah itu, kami akan berkunjung langsung ke daerahnya untuk melihat secara langsung potensi yang ada disana sekaligus memastikan bahwa madu yang dimiliki bukan dari pemasok atau pengepul. Tetapi dari orang yang dapat di percaya.
Setelah obrolan kami selesai, saling bertukar nomor handpone menjadi momen penutup pertemuan kami. Terpancar harapan yang begitu besar dari raut wajahnya, sambil tersenyum lega dia pun meninggalkan kami.
Ceritanya tidak selesai sampai disini, rasa sedih tetap saja melekat. Merasa kasihan karena disaat seorang ibu datang meminta bantuan, kami tak dapat memberi kepastian karena keterbatasan yang saat ini pun kami rasakan. Pikiran ini terus menghantui, hingga ku putuskan untuk mengambil sebuah pulpen dan ku mencoba membuat sebuah konsep pemasaran yang akan melibatkan pemerintah daerah. Saya percaya bahwa ini adalah potensi daerah yang harus dimanfaatkan secara bijak agar bisa berdampak pada masyarakat sekitar. Karena itu, sentuhan tangan pemerintah daerah perlu untuk membuat semuanya berjalan dan bisa bermanfaat secara meluas.
Itu saja !
0 Response to "Cerita Pilu Seorang Ibu"
Posting Komentar