Sendal Biru Di Desa Panyangkala
Hari ini tepat pukul 12.00 lewat, saya bertolak ke kabupaten Gowa tepatnya di Desa Panyangkala bersama dengan Nasharuddin atau sering dipanggil Nas. Sosok yang cerdas dan memiliki pemikiran yang visoner sehingga sangat cocok untuk menjadi bagian dari pemangku kebijakan. Namun sayang, beliau memilih jalan berbeda dengan mencoba mengadu nasib lewat jalan berwirausaha.
Kini usahanya sangat maju, bahkan sudah memiliki karyawan loh, berbeda denganku yang masih ku kendalikan sendiri. Bukan hanya seorang wirausaha namun disela-sela kesibukannya dalam menjalankan usahanya, beliau juga seorang tenaga pengajar disalah satu kampus di Makassar, makanya wajar jika kelak di nobatkan sebagai dosen profesional.
Mengawali perjalanan kami hari ini dengan mengendarai sebuah motor bertolak ke Desa Panyangkala untuk sekedar melihat suasana DIKLAT salah satu lembaga yang pernah membesarkan kami, yakni LKIM_PENA. Desa Panyangkala kalau tidak salah terletak di Kec. Bontonompo, untuk sampai ke desa ini ada banyak pilihan rute yang bisa ditempuh namun pastinya memiliki jarak berbeda. Terserah teman-teman mau pilih yang mana.
Kali ini kami memilih rute kedua yang jaraknya sedang. Setelah belok kiri dari jalan poros Gowa, di sepanjang jalan akan disuguhkan dengan hamparan sawah yang luas. Kunjungan kami kali ini sangat tepat karena bisa melihat suasana panen layaknya di kampung waktu itu. Berada di tempat ini serasa berada di kampung sendiri. Yang berbeda karena proses panen disini sudah menggunakan jasa modern sedangkan di desa kami masih menggunakan jasa tetangga. Hehe....
Setelah sampai di lokasi, kami kembali di suguhkan sebuah bangunan masjid yang kokoh dan luas, mesjidnya cukup mengagumkan untuk tataran desa. Ketika melihat mesjid ini, saya pun kembali mengingat pesan-pesan terdahulu, bahwa untuk mengetahui kesejahteraan penduduk disuatu daerah yang belum kamu kenal maka lihatlah perawakan mesjidnya. Saya pun bisa berasumsi bahwa masyarakat disini memiliki kesehjahteraan diatas rata-rata dengan kondisi rumah yang sudah terbilang layak bahkan beberapa terbilang mewah.
Setelah sholat, kami pun melajutkan perjalanan menuju rumah konsultan, bertemu dengan mereka, beristirahat sejenak sekaligus berdiskusi kecil dengan mereka. Karena ngantuk yang terus mengusik akhirnya, kami pun beranjak ke tempat adik-adik untuk sekedar melihat suasana dan kondisi mereka, ternyata dibalik pintu mesjid di depan teras sudah berjejer sendal jepit berwarna seragam biru. Akhirnya ku coba kuabadikan karena ku anggap ini pemandangan yang menarik yang langkah untuk kutemukan ditempat lain. Menurutku ada pesan tersirat yang digambarkan dalam jejeran sendal ini. “kita boleh berbeda tapi harus tetap satu” berbeda prodi, jurusan, asal, suku, ras, dan kebiasaan tetapi satu dalam neungan lembaga yang sama.
Kembali ngobrol dengan konsultan dan pengurus di teras mesjid hingga beberapa menit datang ajakan untuk memberikan sedikit arahan buat adik-adik. Tak menunggu lama kami pun mengakhiri obrolan sekaligus menghampiri adik-adik. Rasa lelah nampak jelas dari wajah mereka, wajar karena porsi tidur dan istrahat dalam proses ini diperas dan digantikan dengan penguatan-penguatan yang kelak akan berguna untuk dirinya sendiri. Bukan cuman itu, setelah kucek ternyata yang membuat mereka kusam tak terurus karena selama berada dilokasi mereka tak pernah mandi.
Setelah memberikan sedikit arahan dan motivasi kepada mereka untuk tetap semangat dan sabar dalam menjalani proses. Kemudian ku akhiri ceritaku dihadapan mereka dengan menghadiahi sebuah novel yang ku tulis bersama istriku kepada seorang peserta yang telah menuntaskan jawaban yang pas terhadap pertanyaan yang kulontarkan kepadanya.
Waktu begitu cepat berlalu, terikpun sudah mulai meredup, angin sudah mulai berhembus, pertanda jika hari sebentar lagi gelap. Kami pun beranjak meninggalkan mereka dan melanjutkan perjalan untuk kembali ke Makassar. Karena tergoda dengan harumnya putu cangkir yang berjejeran di sepanjang jalan, akhirnya kami sempatkan sejenak singgah mencicipi dan membelinya sebagai ole-ole.
Itu saja !
Kini usahanya sangat maju, bahkan sudah memiliki karyawan loh, berbeda denganku yang masih ku kendalikan sendiri. Bukan hanya seorang wirausaha namun disela-sela kesibukannya dalam menjalankan usahanya, beliau juga seorang tenaga pengajar disalah satu kampus di Makassar, makanya wajar jika kelak di nobatkan sebagai dosen profesional.
Mengawali perjalanan kami hari ini dengan mengendarai sebuah motor bertolak ke Desa Panyangkala untuk sekedar melihat suasana DIKLAT salah satu lembaga yang pernah membesarkan kami, yakni LKIM_PENA. Desa Panyangkala kalau tidak salah terletak di Kec. Bontonompo, untuk sampai ke desa ini ada banyak pilihan rute yang bisa ditempuh namun pastinya memiliki jarak berbeda. Terserah teman-teman mau pilih yang mana.
Kali ini kami memilih rute kedua yang jaraknya sedang. Setelah belok kiri dari jalan poros Gowa, di sepanjang jalan akan disuguhkan dengan hamparan sawah yang luas. Kunjungan kami kali ini sangat tepat karena bisa melihat suasana panen layaknya di kampung waktu itu. Berada di tempat ini serasa berada di kampung sendiri. Yang berbeda karena proses panen disini sudah menggunakan jasa modern sedangkan di desa kami masih menggunakan jasa tetangga. Hehe....
Setelah sampai di lokasi, kami kembali di suguhkan sebuah bangunan masjid yang kokoh dan luas, mesjidnya cukup mengagumkan untuk tataran desa. Ketika melihat mesjid ini, saya pun kembali mengingat pesan-pesan terdahulu, bahwa untuk mengetahui kesejahteraan penduduk disuatu daerah yang belum kamu kenal maka lihatlah perawakan mesjidnya. Saya pun bisa berasumsi bahwa masyarakat disini memiliki kesehjahteraan diatas rata-rata dengan kondisi rumah yang sudah terbilang layak bahkan beberapa terbilang mewah.
Setelah sholat, kami pun melajutkan perjalanan menuju rumah konsultan, bertemu dengan mereka, beristirahat sejenak sekaligus berdiskusi kecil dengan mereka. Karena ngantuk yang terus mengusik akhirnya, kami pun beranjak ke tempat adik-adik untuk sekedar melihat suasana dan kondisi mereka, ternyata dibalik pintu mesjid di depan teras sudah berjejer sendal jepit berwarna seragam biru. Akhirnya ku coba kuabadikan karena ku anggap ini pemandangan yang menarik yang langkah untuk kutemukan ditempat lain. Menurutku ada pesan tersirat yang digambarkan dalam jejeran sendal ini. “kita boleh berbeda tapi harus tetap satu” berbeda prodi, jurusan, asal, suku, ras, dan kebiasaan tetapi satu dalam neungan lembaga yang sama.
Kembali ngobrol dengan konsultan dan pengurus di teras mesjid hingga beberapa menit datang ajakan untuk memberikan sedikit arahan buat adik-adik. Tak menunggu lama kami pun mengakhiri obrolan sekaligus menghampiri adik-adik. Rasa lelah nampak jelas dari wajah mereka, wajar karena porsi tidur dan istrahat dalam proses ini diperas dan digantikan dengan penguatan-penguatan yang kelak akan berguna untuk dirinya sendiri. Bukan cuman itu, setelah kucek ternyata yang membuat mereka kusam tak terurus karena selama berada dilokasi mereka tak pernah mandi.
Setelah memberikan sedikit arahan dan motivasi kepada mereka untuk tetap semangat dan sabar dalam menjalani proses. Kemudian ku akhiri ceritaku dihadapan mereka dengan menghadiahi sebuah novel yang ku tulis bersama istriku kepada seorang peserta yang telah menuntaskan jawaban yang pas terhadap pertanyaan yang kulontarkan kepadanya.
Waktu begitu cepat berlalu, terikpun sudah mulai meredup, angin sudah mulai berhembus, pertanda jika hari sebentar lagi gelap. Kami pun beranjak meninggalkan mereka dan melanjutkan perjalan untuk kembali ke Makassar. Karena tergoda dengan harumnya putu cangkir yang berjejeran di sepanjang jalan, akhirnya kami sempatkan sejenak singgah mencicipi dan membelinya sebagai ole-ole.
Itu saja !
0 Response to "Sendal Biru Di Desa Panyangkala"
Posting Komentar