Si Putih Menempuh Jarak 375 kilometer

Hari ini saya melakukan perjalanan dari kampung halaman di Bulukumba menuju Majene. Saya dan istri berangkat pukul 06.00 pagi dengan mengendarai si putih. Kali ini saya mencoba melalui rute yang baru, melewati kabupaten Sinjai melewati jalur Palattae - Tanah Batue. 

Wah, kondisi jalan yang cukup parah mengiringi perjalanan kami kali ini hingga sampai pada ujung jalan. Setelah itu, mengambil jalur melewati Soppeng, Sidrap, dan keluar ke jalan Trans Sulawesi di kota Pinrang.

Kondisi jalan yang rusak parah berada di kabupaten Sidrap, jalan bebatu disertai dengan lumpur yang dalam menjadi ciri khas jalan yang satu ini. Namun meskipun begitu, hijaunya alam dengan hamparan sawah dengan padi yang menghijau menjadikan perjalanan kali ini sangat mengasyikkan. Apalagi dengan melewati jalan desa yang notabenenya senyap dan jauh dari kebisingan suasana kota.

Kami berhasil keluar ke jalur Trans Sulawesi melalui kota Pinrang pukul 12.30, tak begitu jauh kami singgah untuk menuntaskan penghambaan kami ke sang pemilik semesta di salah satu masjid yang cukup keren dan nyaman, dari luar nampak seorang lagi tidur pulas tergeletak di lantai tengah masjid. Mungkin dia lelah dan tertidur setelah menuaikan sholat.

Saya dan istri pun melaksanakan sholat, sejenak meletakkan badan dilantai kemudian melanjutkan perjalanan dengan menelusuri jalur tersebut menuju kota Majene, Sulawesi Barat.

Melewati kota Wonomulyo, kami singgah di salah satu warung, istri mencoba memesan ayam goreng, kami pun menunggu sambil mengotak-atik gedget. Tak begitu lama, pesanan pun datang, diantar oleh seorang gadis separuh baya. 

Melihat menu yang dihidangkan, kami tersenyum sesuatu yang beda dan untuk pertama kalinya kami temukan disini. Hidangan biasanya, hanya terdiri dari lauk beserta  pelengkap lainnya yang diletakkan dalam satu piring, semangkuk sup dan kobokan. 

Namun yang jadi pembeda di warung ini karena tersedia satu piring kosong yang melapisi kobokan, kami tidak tau fungsinya apa, sehingga kami hanya taruh begitu saja. Melihat disekitar kami pun tak ada yang memesan menu yang sama. Padahal kami penasaran apa fungsi dari piring itu, apa mungkin sudah jadi adat di kota ini sebagai bentuk penghargaan kepada pelanggan yang datang atau memang ada fungsi lain yang kami tidak tahu.

Pembeda yang kedua, sup yang biasanya dihidangkan dari irisan-irisan daun kol, lassa, serta serpihan kaki ayam. Namun disini, supnya berbeda, semangkuk indomie ditambah dengan beberapa iris daun kol lengkap dengan serpihan-serpihan hati ayam menjadi ciri khas tersendiri. Bagi kami ini menarik sekaligus unik, menjadi pembeda untuk bisa dikenang oleh setiap pengunjung yang datang. 

Kami pun melanjutkan perjalanan, melewati masjid Imam Lapeo yang sangat fenomenal dan dikenal. Imam Lapeo sapaan lain dari Kh. Muh. Thohiir atau diistilahkan pula sebagai "Tosalama" merupakan tokoh sufi yang terkenal akan kecerdasannya, keberanian dan sifat-sifatnya yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan yang telah terbukti dengan hadirnya berbagai ulama tersohor di negeri ini.

Kami pun tiba di kota Majene sekitar pukul 16.00 lewat sedikit. Lebih lama dari waktu biasanya, karena kali ini laju si putih tidak begitu kencang. Yah itulah kira-kira untuk perjalanan kami kali ini. 


0 Response to "Si Putih Menempuh Jarak 375 kilometer"

Posting Komentar