Negeri Para Oknum


Bagi saya kedamaian itu hanyalah mimpi belaka di negeri ini, semboyang sebagai bangsa yang beradab hanyalah guyonan semata.

Bagaimana mungkin bangsa beradab ketika cacian dan makian sudah jadi santapan hangat disetiap waktu. Mereka yang tua seharusnya menjadi semakin bijak, namun malah sebaliknya, merekalah yang banyak mengisi panggung-panggung perdebatan dan memberikan narasi-narasi yang menyesatkan.

Mereka yang begitu yakin menganggap dirinya sangat paham dan mengerti tentang agama, terlihat sangat agamis dan sering  berteriak atas nama Tuhan. Namun saya malah tidak yakin jika yang mereka jalan itu sejalan dengan konsep agama. 

Jika mengacu pada konsep agama, maka mereka seharusnya menjadi penyejuk ditengah krisis moral yang mendera, namun nyatanya merekalah yang memantik api perselisihan, mengadu domba dan provokatif.

Dokter yang harusnya hadir sebagai pengobat malah   menjadi bagian dari provokasi, lembaga hukum yang harusnya menjadi pengadil malah merekalah yang diadili atas kasus suap, korupsi, dll.

Penegak hukum yang harusnya menjadi pengayom dalam semboyangnya, malah terlibat dalam tragedi pembunuhan yang terorganisir. Belum lagi gubernur yang harusnya menjadi tamen kesejahteraan rakyat malah sibuk bermain di meja judi.

Terus kemana rakyat ini akan mengadu, DPR ?

Waduh, DPR yang katanya wakil rakyat malah seakan tidak mewakili. Hanya sibuk berbagi proyek, sibuk menata gorden agak tidak terlihat lusu ditengah prabot yang serba mewah. 

Katanya kiper anggaran, namun nyatanya mereka sendirilah yang banyak melakukan offside. Gaji sudah tinggi, tunjangan yang cukup fantastis, tapi masih saja berharap lebih. Hingga dana pensiun pun diketuk agar dapat garansi hidup dari negara, meskipun hanya menjabat dalam tempo 5 tahun. 

Apakah adil ?

Tidak, mereka tidak mewakili rakyat hanya mewakili keluarga. Jika saja mereka berdiri dipihak rakyat, mungkin saja memberikan kepastian nasib bagi ribuan honorer  jauh lebih elok diketuk di meja bundar, dibanting mengetuk dana pensiun untuk mengamankan hidup keluarga.

5 tahun bagi mereka adalah kemewahan, namun 5 tahun bagi tenaga honorer adalah pengabdian. Tetesan keringat mereka (DPR) selalu dibayar dengan uang, namun tetesan keringat mereka (Honorer) hanya dibayar dengan harapan.

Mudah bagi mereka (DPR) mengajak keluarga makan direstauran mewah. Namun bagi Honorer, mengajak makan anak diemperan jalan saja kadang tidak cukup.

Kenapa begitu ?

Karena bayaran untuk tenaga honorer hanya diambil dari sisa-sisa anggaran yang tidak terpakai. Makanya, wajar jika susu dan pokok masih saja berat untuk terbeli.

Jangankan untuk beli sepatu, membuat asap mengepul di dapur saja, mereka  harus berjuang dari pagi hingga petang. Coba dihitung, berapa banyak tetesan keringat yang mereka harus keluarkan hanya untuk bertahan hidup, menanti harapan yang tak pernah pasti.

Tak perlu bercerita tentang dana pensiun, intensif sebulan untuk mereka pun masih saja menjadi misteri. Tak jelas, jumlah seakan bergantung pimpinan, jika mengerti akan lebih itupun kadang sebaliknya.

Seharusnya, mereka inilah yang perlu menerima dana pensiun, bukan mereka yang duduk disinggahsana dalam satu periode, yang mengaku wakil namun masih diragukan. Mewakili keluarga mungkin iya, memanfaatkan momen agar mendapat garansi hidup di negeri ini.

Tak hanya sampai disitu, para pejabat pun sama saja, sibuk mendebatkan sesuatu yang tak ada ujung, beradu gengsi dan argumen agar popularitas menjadi naik.

Terus, rakyat harus mengadu kemana, pemerintah ?

Ah, sama saja !

Mereka hanya sibuk berbagi peran, mendebatkan sesuatu yang tak kunjung usai,hingga lupa akan fitrahnya, yang penting popularitas meningkat agar kesempatan lebih terbuka untuk ikut  ambil bagian dalam kontestasi politik di tahun depan.

Tumpuan terakhir ada dipundak mahasiswa, namun apakah gerakan mereka masih murni, atau malah sudah ikut ditunggangi. Saya pun ragu karena teriakan mereka seakan bersyarat, tidak lagi lewat analisis. 

Tapi sudahlah, semoga bait- bait doa yang dipanjatkan oleh orang-orang baik, akan tetap menjadi penyejuk di negeri yang krisis akan toleransi ini.

Ini hanya opini,-

Makassar, 13102022

0 Response to "Negeri Para Oknum"

Posting Komentar