Secangkir Kopi Hangat

 

Pagi itu diatas bukit, dari balik pepohonan terlihat senyum yang begitu manis dari seorang relawan yang sedang mengajar adik-adik pelosok. Aku terus menatap dan memperhatikannya dari balik dedaunan yang tidak begitu jauh dari sudut sekolah. Gadis itu terlihat asyik sedang bersenda gurau dengan adik-adik sambil memperagakan beberapa media belajar yang ada di tangannya. Senyumnya terus saja merekah seakan menjadi isyarat jika dirinya sangat menikmati kebersamaan dengan adik-adik itu.

Bukan hanya senyum indah yang ku temukan pagi ini darinya, namun aku pun menemukan sosok keibuan dan kedewasaan yang melekat pada dirinya yang membuatku semakin sulit untuk memalingkan pandanganku.

Terus ku menatapnya hingga seorang sahabat datang dan menepuk pundakku dari belakang. Ternyata beliau pun sudah menaruh hati jauh hari sebelum saya menemukan senyum itu pagi ini. Akhirnya, aku memilih untuk mengalah demi memberikan kebahagiaan kepada sahabat. 

Hari-hari pun berlalu di lokasi pengabdian, berbagai aktifitas pun dilakukan sesuai dengan tupoksi yang telah diberikan kepada masing-masing relawan. Proses pembelajar di sekolah pun berjalan lancar, adik-adik begitu semangat mengikuti pelajaran di kelas, serta relawan pun terlihat sangat menikmati jalannya program ini. 

Matahari sudah mulai meredup, semakin merendah pertanda jika sore telah tiba dan sebentar lagi petang akan datang menyapa. Berbagai aktifitas pun nampak terlihat disekitar posko. Beberapa relawan terlihat sedang sibuk di dapur, adapula yang duduk berderet menunggu antrian masuk ke kamar mandi,  serta banyak lagi kegiatan yang dilakukan oleh relawan lain sembari menunggu tiba waktu untuk sholat magrib.

Setelah sholat, makan, dan istirahat sejenak. Relawan pun kembali kumpul di ruang tengah untuk mengikuti kegiatan evaluasi hingga larut malam. Berbagai agenda untuk hari esok pun tak lepas dari pembahasan sekaligus menjadi agenda penutup sebelum relawan kembali keperaduannya untuk menyantap nikmatnya istirahat setelah lelah menyelimuti hari ini.

Tak terasa hari esok pun kembali menyapa lewat kecupan cahaya dari ufuk timur. Suara riuh sudah mulai terdengar di dapur dan teras rumah dari relawan yang lebih dulu bangun. Hingga time kiper (sebutan bagi pengatur waktu) pun memaksa kami (laki-laki) untuk bangun dan segera membereskan tempat tidur. Tak ada alasan untuk menolak karena yang menjadi time kiper hari ini sedikit galak namanya Kakak Risya, orangnya aktif, tegas dan disiplin serta baik hati dan suka menolong.

Hari ini, aku hanya menatap senyum itu seadanya. Tak lebih dari hari kemarin karena aku tau jika seorang sahabat lebih dulu telah menaruh rasa kepadanya. Tak baik jika harus bersaing hanya karena seorang gadis, apalagi jika hubungan yang sudah terjalin lama rusak hanya karena rasa yang tak berdasar.

Ku urungkan niat untuk semakin mengenalnya, dan kini ku acuhkan perasaan yang ada dan mencoba untuk mensupport sahabat untuk terus mencoba melakukan pdkt kepada gadis itu. Mereka pun mulsi dekat, sudah terlihat jalan bareng menuju sekolah hingga pulang ke posko di sore hari. Nampak begitu jelas jika sahabat sangat berusaha untuk bisa mendapatkan gadis itu. Entah apa yang dirasakan oleh gadis itu, mungkinkah memiliki rasa yang sama atau hanya sekedar tidak ingin mengecewakan.

Hingga tiba di malam terakhir, malam yang sedikit berbeda dengan malam-malam biasanya. Malam ini relawan kembali berkumpul di ruang tengah untuk melakukan evaluasi terakhir sekaligus pemilihan ketua panitia untuk pemberangkatan di bulan selanjutnya.

Gadis cantik itu ternyata duduk di sudut rumah dekat tiang samping kiri. Saya duduk pas di depannya bersebelahan dengan sahabat yang duduk disebelahku. Sedikit melirik dan memberikan senyum hangat kepadanya. Mungkin gadis itu tak bisa membaca makna senyum yang ku berikan kepadanya. Namun, sebetulnya senyum itu untuk memberikan isyarat jika seseorang sedang memperhatikannya.

Gadis itu memang sedikit pendiam, berbeda dengan teman-teman lain yang biasanya vokal disetiap pertemuan. Namun saya mencoba memaksanya untuk ngomong dan dia pun berkesempatan untuk membahas bahan evaluasi di kelasnya. Maklumlah sebagai ketua komunitas, sangat gampang untuk mensetting agar semua relawan bisa ikut aktif dan berbicara.

Ternyata gadis ini tidak hanya memiliki paras yang cantik namun memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik. Selain itu, pemilihan kata-kata yang diucap olehnya menandakan jika gadis ini jauh lebih dewasa diantara teman-temannya. Rasa kagum itu pasti ada, namun itu hanyalah sebatas rasa kagum semata.

Setelah evaluasi, pemilihan ketua panitia menjadi kegiatan penutup malam ini. Disaat pemilihan ketua panitia, teman-temannya kemudian memilihnya untuk menjadi bendahara. Gadis cantik itu pun bersedia dan menerima tanggungjawab itu.

Esok pagi, tiba saatnya untuk kembali setelah sepekan berada di lokasi ini. Rasa sedih pun menghiasi suasana pagi ini, berat rasanya harus meninggalkan adik-adik yang seakan sudah menjadi bagian dari keluarga. Namun apa boleh buat, disetiap pertemuan pasti ada perpisahan apalagi kegiatan ini memang hanya sebagai pelengkap cerita dalam perjalanan sekaligus sebagai ajang untuk merefleksi kepedulian terhadap sesama, terkhusus buat adik-adik kami di pelosok. Rutinitas kami sesungguhnya ada dibangku kuliah sehingga mengharuskan kami meninggalkan kampung ini.

Bersambung,-

Masih Tahap Revisi

Majene, 05112022

0 Response to "Secangkir Kopi Hangat"

Posting Komentar