Majene Belum Layak di Sebut Kota Pendidikan
Jauh sebelum saya tinggal di kota ini. Tepatnya, disaat istri saya di nyatakan lolos seleksi CPNS di salah satu perguruan tinggi disini, saya sudah mulai mengumpulkan berbagai informasi tentang kota ini. Banyak info yang saya temukan baik dari teman yang lahir disini maupun dari berbagai media dan sosial media.
Ada satu informasi yang membuat saya tertarik tentang kota ini, dimana dalam berbagai media dan sosial media disebutkan bahwa kota ini adalah kota pendidikan yang mendapatkan mandat setelah adanya prosesi pemekaran wilayah yang dilakukan oleh para tokoh pada zamannya.
Kira-kira pembagian wilayahnya seperti ini : Untuk kabupaten Polewali di berikan mandat sebagai kota penyangga ekonomi sehingga diberi tanggungjawab sebagai kota industri karena memang sejak dulu kota ini sudah di kenal sebagai kota paling produktif, di samping itu pula karena wilayahnya yang luas serta jumlah penduduknya yang banyak sehingga kota ini di akui jauh lebih maju di banding kota-kota lain di Sulawesi Barat.
Kemudian kabupaten Majene sebagai kota pendidikan karena jika di lihat dari berbagai aspek, maka kota ini memang cocok untuk itu karena tak ada potensi lain jika di telisik dari segi letak geografis. Selanjutnya kota Mamuju sebagai kota pemerintahan sekaligus sebagai ibukota provinsi karena letaknya berada di tengah-tengah jika lihat dari batas bagian selatan sampai ke batas bagian tengah pulau Sulawesi.
Oke, kali ini saya hanya akan membahas tentang Majene sebagai kota pendidikan. Untuk Polewali dan Mamuju akan saya bahas belakangan, tapi ingat ini hanya sebatas opini pribadi bukan hasil kajian-kajian yang sesuai dengan kaidah ilmiah.
Jujur tadinya saya berpikir sesuatu yang waww.. sebelum berkunjung ke kota ini. Namun setelah berada disini dan bermukim sebagai warga yang masih bermodalkan suket domisili kayaknya ada yang masih perlu di luruskan terkait dengan icon kota pendidikan.
Dari segi lembaga pendidikan memang sudah sangat layak disebut sebagai kota pendidikan karena Majene sudah memiliki beberapa kampus besar negeri diantaranya Universitas Sulawesi Barat, Universitas Terbuka, Stain Majene serta berbagai kampus swasta lainnya yang keren-keren.
Belum lagi dari segi lembaga sekolah formal yang memang sudah sangat lengkap baik negeri maupun swasta. Namun hal ini tidak cukup untuk menjadikan Majene sebagai kota pendidikan namun harus di lihat pula dari aspek lain sebagai pendukung.
Terutama dari aspek lingkungan serta perilaku masyarakat sekitar. Seperti halnya dari segi lingkungan serta dukungan dari pemerintah.
Menurut saya, icon sebagai kota pendidikan masih terlalu dini meskipun tidak sebanding dengan usianya yang sudah beranjak remaja jika di identikkan dengan seorang pemuda.
Lingkungan sekitar belum mencerminkan sebagai kota pendidikan karena kota ini seakan masih sangat asing dengan buku dan ilmu pengetahuan. Salah satu contoh yang sangat mendasar, kurang lebih dua tahun saya berada di kota ini, namun saya belum pernah melihat toko yang menjajakan buku atau istilah kerennya toko buku.
Mohon maaf jika saya salah, tetap kenyataannya saya memang belum pernah menemukan ini meskipun sudah berkeliling sampai ke sudut-sudut kota. Padahal keberadaan toko buku, itu menjadi salah satu simbol pendidikan di sebuah kota. Tidak adanya toko buku yang tersedia pun bisa menjadi indikasi sekaligus bukti jika minat baca di kota ini sangat rendah tanpa harus melakukan survei ataupun penelitian secara langsung.
Ini mutlak berlaku!
Selain toko buku, keberadaan perpustakaan pun masih sangat minim. Mungkin saja hanya di miliki oleh dinas perpustakaan kota karena regulasinya yang mengharuskan itu ada, bukan semata-mata untuk menunjang icon kota.
Sebab disetiap kabupaten pun pasti ada hal yang serupa hanya saja sebagai pemerintah daerah seharusnya hal ini bisa di dukung dengan membuka berbagai gerai-gerai buku di sudut-sudut kota atau di lingkungan-lingkungan tertentu. Sebagai penunjang jika kota ini memang identik dengan ilmu dan pengetahuan.
Seperti halnya di tempat-tempat keramaian atau lokasi-lokasi yang memang sangat strategis dan banyak di kunjungi oleh masyarakat.
Malah yang membuat saya salut datang dari beberapa penggerak literasi yang sering saya temukan menjajakan buku-buku keren di emperan stadion hampir disetiap sorenya, dan ini dilakukan oleh individu-induvidu yang tergerak hatinya secara mandiri.
Seharusnya, orang-orang seperti inilah yang perlu di apresiasi mungkin dengan diberi fasilitas yang dapat menunjang niat-niat baik mereka. Mungkin ada baiknya jika sekali-kali pemerintah dan jajarannya bisa mengunjungi mereka di sore hari, duduk di emperan selokan sambil menyeduh kopi hangat bersama mereka, ini bisa menjadi dukungan moril sebagai apresiasi bagi mereka yang sudah berusaha mendekatkan kota ini dengan kiblat pembentukannya yang telah di proklamirkan oleh para pendahulunya.
Apalagi jika disertai dengan beberapa kursi klasik dan meja antik yang hanya nganggur di ruangan, hingga berdebu tanpa tuan. Belum lagi jika dibarengi dengan diskusi-diskusi lepas tentang kondisi jalanan yang mengarah ke kampus yang sampai saat ini pun masih terlihat rusak dan berdebu disaat terik menyengat dan kadang berubah menjadi lumpur disaat rintik datang menyapa.
Terlebih lagi jika rintik sudah berubah menjadi hujan maka kenangan pun akan ikut berubah menjadi genangan. Untung-untung jika mengalir, terkadang malah menunggu antrian di tengah jalan hingga berhari-hari karena bangunan-bangunan kokoh tinggi menjulang.
Tak sebanding dengan aliran selokan yang dalamnya hanya sejengkal jari manis di sertai dengan endapan sedimentasi yang sudah mulai mengeluap hingga ke badan jalan.
Maaf hanya sebatas opini! Hehehe.....
Majene, 24/09/2024
0 Response to "Majene Belum Layak di Sebut Kota Pendidikan"
Posting Komentar